Minggu, 27 Januari 2008

Baduy ku, Oh Baduy


Ketika siang mulai menghilang dan perlahan-lahan digantikan oleh sang malam, kami pun mulai bersiap-siap untuk mengantisipasi malam agar tidak tenggelam dalam kegelapannya. Maklum, di daerah pegunungan yang jauh dari dingin dan jauh dari jangkauan masyarakat awam tidak mengenal temaramnya lampu pada malam hari seperti di kota-kota yang biasa kita jumpai. Sehingga pada saat malam datang suasana hening pun begitu terasa. Hanya suara bercanda dan suara lembut dan santun dari seorang Kepala Desa (Jaro) yang sedang memberikan keterangan kepada kelompok diskusi dari rombongan penelitian. Desa tersebut di huni oleh suku yang terkenal dengan suku Baduy.
Secara historis, Suku ‘Baduy’ adalah nama sebutan dalam penyebaran Agama Islam di daerah Sunda. Baduy adalah nama suku nomaden di negara Arab yang menolak ajaran Islam pada zaman Rasulullah. Pada pemerintahan Prabu Siliwangi daerah Sunda mayoritas memeluk agama Hindu, kemudian datanglah Maulana Hasan menyebarkan ajaran Islam, yang kemudian diteruskan oleh putranya Maulana Yusuf. Pada zaman tersebut perkembangan Islam sangat pesat. Tetapi ada sebagian yang menolak ajaran tersebut sehingga mereka melarikan diri ke pegunungan-pegunungan. Kelompok tersebut menyebut dirinya suku Kanekes. Sedangkan masyarakat Islam pada masa Maulana Yusuf tersebut menyebut mereka suku Baduy karena menolak ajaran Islam.
Desa Baduy terbagi dua yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar. Desa Cipaler adalah desa Baduy Luar yang merupakan tujuan kami. Untuk sampai ke desa tersebut kami harus melalui sebuah desa Ciboleger dan Gazebu. Selama dalam perjalanan pemandangan yang tampak sebagian besar adalah hutan, ada juga sungai kecil dan untuk melaluinya kami harus menyeberangi jembatan yang terbuat dari bambu dengan menggunakan tali tambang dan serabut sebagai pengikatnya. Sesekali kami melalui ladang padi tadah hujan.
Di desa Cipaler rombongan kami diterima dengan ramah dan sangat bersahabat. Pada malam harinya kami menginap di rumah-rumah penduduk setempat dengan penerangan yang seadanya. Lampu badai yang kami bawa dapat sedikit membantu penerangan di bagian luar rumah, sedangkan untuk penerangan di bagian dalam rumah salah seorang dari rombongan membawa lampu emergency (darurat). Sehingga tidak begitu terasa gelapnya malam yang kami lalui.
Keesokan hari kami mulai melakukan aktivitas yaitu mencari tahu tentang sanitasi, serta kesehatan penduduk. Misalnya penanganan dalam persalinan, sakit, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan kesehatan. Sebagian besar mereka memanfaatkan tumbuhan alam yang ada di sekitar halaman rumah mereka, seperti program tanaman obat keluarga (toga). Untuk sanitasi, mereka kurang memperhatikan masalah MCK, karena keterbatasan pengetahuan tentang itu.
Setelah mendapatkan informasi-informasi yang dibutuhkan, kami pun melanjutkan perjalanan menuju desa Cibeo yang merupakan tempat bermukimnya penduduk Baduy Dalam. Perjalanan yang ditempuh lebih berat dari pada sebelumnya, karena lokasinya jauh lebih tinggi dari pada desa Cipaler. Selain jarak yang ditempuh lebih jauh medan yang dilalui pun lebih banyak tantangannya. Selama dalam perjalanan sesekali kami berjumpa dengan penduduk Baduy Dalam yang sedang melakukan aktivitasnya. Perbedaan suku Baduy Luar dan Baduy Dalam secara adat adalah terlihat dari pakaian mereka. Baduy Luar mengenakan pakaian adat berwarna hitam dengan ikat kepala berwarna hitam juga sedangkan Baduy Dalam mengenakan pakaian adat berwarna putih dengan ikat kepala berwarna putih. Dan secara adat penduduk Baduy Dalam masih tetap menjunjung tinggi tradisi (adat) warisan dari nenek moyang mereka, sedangkan penduduk Baduy Luar sudah terkontaminasi dengan dunia luar. Misalnya dalam hal berpakaian penduduk Baduy Luar sudah banyak yang mengenakan pakaian modern (kota) dalam kesehariannya, sedangkan penduduk Baduy Dalam selalu mengenakan pakaian adat yang mereka tenun sendiri. Penduduk Baduy Dalam melarang pengambilan foto dan video shooting bagi tamu-tamu yang berkunjung ke daerah mereka, karena itu sangat tabu bagi mereka. Selain itu tamu yang berkunjung hanyalah muslim dan pribumi saja. Dalam rombongan kami ikut seorang Photographer ‘bule’ yang sangat tertarik dengan peradaban suku Baduy. Akhirnya beliau pun di pisahkan dari rombongan yang akan memasuki kawasan Baduy Dalam
Di desa Cibeo pun kami disambut dengan ramah oleh penduduk dan kami diberi kesempatan untuk bercengkerama dengan sang Jaro. Rombongan kami begitu terpesona dengan keramahan dan kecerdasan dari sang Jaro, walaupun suku Baduy tidak mengenal pendidikan melalui bangku sekolahan tetapi beliau banyak tahu tentang informasi pengetahuan, selain beliau adalah seorang yang bersih dan tampan. Sang Jaro sering melakukan perjalanan ke luar daerah dan bertemu dengan orang-orang terpelajar, sehingga ilmu yang dimiliki sangat kompleks. Dan untuk kebersihan kulit tubuh dan wajah, mereka selalu menggunakan pohon ‘Honje’ sebagai bahan pengganti sabun mandi. Pohon Honje yang dikenal dengan pohon Kecombrang itu bisa digunakan sebagai obat penyakit yang berhubungan dengan kulit (juga campak).
Dalam peradaban suku Baduy tidak mengenal dunia pendidikan, keseharian mereka bercocok tanam dan bertenun serta mengurus keluarga mereka masing-masing. Sehingga mereka terbelakang, tetapi mereka sangat menikmati kehidupan seperti itu. Hanya ilmu pengetahuan warisan nenek moyang yang tetap bertahan dan mereka pertahankan. Tatanan hidup dengan ajaran animisme menyebabkan mereka sangat mencintai leluhurnya. Bagi warga yang menolak atau melanggar tatanan tersebut akan diusir dari perkampungan. Karena terlalu banyak warga yang mulai mengenal tatatan kehidupan Islam, maka akhirnya mereka yang terbuang membentuk perkampungan Muslim suku Baduy.
Pada perkampungan ini sudah mulai mengenal pendidikan, karena lokasinya tidak terlalu jauh dari keramaian penduduk walaupun tetap masih di daerah pegunungan. Misalnya pendidikan Agama Islam bisa didapat dari Bapak Ustadz. Pendidikan dunia pun mereka pelajari dengan menempuh perjalanan jauh ke luar perkampungan.
Keterbelakangan peradaban suku Baduy Dalam tidak membuat mereka menjadi orang terbelakang dan gampang dipengaruhi, tetapi justru menjadikan mereka berkepribadian yang unik dengan keramahan dan kedisiplinannya. Mereka mengerti pola kehidupan yang sehat sehat walaupun sanitasinya kurang baik. Dalam pembangunan sebuah rumah pun mereka menggunakan alat-alat yang jauh dari alat-alat modern, seperti paku atau yang lainnya. Mereka hanya menggunakan serabut/ijuk sebagai pengikat dan pasaknya dialas dengan batu agar tahan lama dan tidak mudah lapuk. Dengan segala keterbatasannya menjadikan mereka suatu keluarga yang sangat kuat ikatan persaudaraannya.
Pengamatan yang dilakukan cenderung menjurus ke arah pengetahuan herbal yang digunakan oleh masyarakat Baduy. Misalkan tanaman Honje seperti yang telah di ulas sebelumnya, bagi masyarakat umum masih banyak yang belum begitu mengenal manfaatnya. Tetapi bagi masyarakat Banten tanaman itu sudah merupakan tanaman leluhur yang mengandung berbagai macam manfaat. Penduduk Baduy Dalam menggunakan pohon tersebut dengan cara menggosokkan batang pohon Honje ke tubuh dan wajahnya agar bersih tanpa harus menggunakan sabun mandi. Sehingga terlihat penduduk Baduy Dalam memiliki tubuh dan wajah putih bersih. Selain itu juga ada tanaman yang dinamai Korejat. Tanaman tersebut berfungsi sebagai obat mata. Semua tanaman dan tumbuhan yang ada di sekeliling, mereka manfaatkan untuk obat-obatan.
Akhirnya malam pun kembali datang, kami dan rombongan telah sampai di desa lain yang berada jauh di luar dari perkampungan Baduy Dalam. Di sana kami berkumpul kembali dengan photographer ‘bule’ yang terpisah dari rombongan. Dan kami pun berbagi pengalaman dalam suatu diskusi yang sangat kekeluargaan. Malam pun berlalu, penatnya tubuh karena perjalanan yang sangat melelahkan hilanglah sudah. Selama 2 hari kami dan rombongan belum bisa mandi dan bersih-bersih, akhirnya di desa inilah kami mencuci diri dan bersih-bersih karena sungai yang mengaliri desa ini cukup bersih. Alhamdulillah......
Menjelang siang kami melanjutkan perjalanan untuk pulang, dan sebelumnya kami mengunjungi desa suku Baduy Muslim. Dan setelah bersilahturahmi dengan mereka kami pun kembali pulang. Suku Baduy terletak di daerah pegunungan yang berada di wilayah Kabupaten Pandeglang Propinsi Banten.
Begitu indahnya perbedaan, dari perbedaan dapat menjadikan persaudaraan yang sangat erat. Jangan pernah memandang perbedaan adalah perpecahan, tetapi sikapilah perbedaan itu dengan bijaksana. Semoga keberagaman suku dan golongan bangsa Indonesia selalu menyatukan bangsa ini dalam kesatuan Bhineka Tunggal Ika. Amien.

Tidak ada komentar: