Selasa, 29 Januari 2008

Opini : Antara Syurga dan Neraka

Histeris jeritan anak-anak serentak memecah suasana hening di ruangan sidang, pimpinan sidang memutuskan bahwa kebijakan Ujian Akhir Nasional (UAN) yang diusulkan pemerintah ditolak. Beliau memutuskan bahwa Ujian Akhir Nasional akan berpijak pada kebijakan tahun lalu dengan alasan pemuda bangsa Indonesia belum siap dalam menerima era ini. Tiba-tiba Ucup terjaga dari tidurnya dan kehilangan semua peristiwa tersebut. Ternyata itu hanyalah sebuah mimpi belaka yang tidak akan pernah terwujud karena pemerintah telah memutuskan bahwa kebijakan baru bagi Ujian Akhir Nasional akan tetap terlaksana.
Mimpi Ucup sangat beralasan dalam pengharapannya, bahwa seorang anak bangsa sangat mengharapkan perubahan dalam sistem pendidikan yang masih carut marut, bukannya kebijakan yang memberatkan berbagai pihak. Kebijakan itu akan membawa dilema bagi dunia pendidikan. Dengan kebijakan yang menentukan bahwa siswa akan lulus jika nilai mata pelajaran khusus dan mata pelajaran lainnya yang terangkum dalam 6 mata pelajaran mencapai nilai 5,25. Apakah kontribusi pemerintah terhadap dunia pendidikan sudah sebegitu bagusnyakah sehingga sangat percaya diri menetapkan kebijakan yang kontroversial di masyarakat pendidikan?
Di dalam benak seorang guru yang paling utama adalah bagaimana mengantarkan anak didiknya lulus ujian, bukan bagaimana anak didik tersebut bisa menyerap ilmu yang telah mereka sampaikan. Bagi sekolah yang menyelenggarakan penyaringan siswa barunya dengan syarat yang sangat ketat, mungkin tidak begitu bermasalah. Tetapi bagi sekolah yang masih butuh siswa dan mencari anak didik agar operasional sekolahnya dapat berlanjut sehingga penyaringan siswa baru dilaksanakan dengan alakadarnya, merupakan suatu masalah yang sangat besar. Sementara masing-masing pemerintahan daerah berharap agar semua anak-anak didik di wilayahnya lulus. Pada kenyataannya terdapat banyak anak usia sekolah yang terjerat dalam kemalasan untuk berpikir. Demi nama baik daerahnya beberapa pemerintah daerah membiarkan sesuatu yang seharusnya tidak berkembang dalam dunia pendidikan, bahkan bukan rashasia lagi ada yang memberikan ‘trik’nya agar sukses.
Semakin banyaknya anak didik yang tidak lulus menunjukkan bahwa daerah tersebut dianggap terbelakang dan kurangnya pembinaan. Sehingga hal yang lumrah dalam pembentukan “Tim Sukses” sudah bukan sesuatu hal yang tabu, demi membantu anak didiknya agar lulus. Bagi seorang guru itu adalah sebuah dilema, bagaikan makan buah simalakama. Di satu sisi siswa tersebut adalah anak didiknya di sisi lain jauh dari perbuatan yang terpuji, dan mengotori dunia pendidikan. Siapa yang menanggung dosanya?(Itulah yang tersimpan di dalam benak hati seorang hamba Tuhan). Apakah Guru dan Kepala Sekolahnya? Ataukah Departemen dan pemerintahnya? Wallahu ‘alam bissawaf.
Ada suatu kejadian beberapa tahun lalu sebelum kebijakan tentang UAN diterbitkan, yang mungkin harus menjadi perenungan kita semua. Peristiwa tersebut terjadi pada saat akan berakhirnya tahun ajaran. Ini bermula dari datangnya orang tua siswa kelas III kepada seorang guru yang tak lain adalah walikelas anaknya. Beliau menyampaikan bahwa anaknya ingin masuk ke salah satu sekolah tinggi yang mempunyai persyaratan nilai Matematikanya minimal harus angka 7,0. Di sekolah tempatnya belajar anak tersebut adalah anak yang biasa-biasa saja dan tidak menonjol. Orang tuanya memohon agar nilai Matematika di raport anaknya ditulis dengan angka 7,0 walaupun itu bukan nilai sebenarnya. Setelah melalui pembicaraan yang singkat akhirnya ditemukanlah orang tua yang sangat sayang sekali pada anaknya itu dengan guru Matematika. Naluri seorang guru bahwa nilai yang telah diberikannya itu adalah hasil kemampuan anak tersebut, jadi kalaupun harus “didongkrak” tidak dengan angka 7,0, karena terlalu berat untuk mempertanggungjawabkannya ke masyarakat. Walaupun dengan berat hati akhirnya nilaipun dapat berubah sesuai dengan harapan. Beberapa tahun kemudian ada berita bahwa anak tersebut tidak lulus sekolah tinggi yang dimaksud, tetapi masuk ke salah satu perguruan tinggi bergengsi di kota Bandung yang tidak membutuhkan angka 7,0 pada nilai pelajaran Matematika.
Dari kejadian tersebut dapat dikatakan bahwa nilai Ujian Akhir bukanlah satu-satunya hal sebagai penentu nasib seorang anak calon generasi bangsa, tetapi ilmulah yang akan mengantarkan anak tersebut dalam keberhasilan. Nilai hanyalah sebagai ‘Reward’ terhadap suatu usaha yang dilakukan. Bagaimana dengan kasus siswa berprestasi, yang terhambat perjalanannya karena hanya tidak lulus di salah satu mata pelajaran UAN. Apakah gurunya yang salah?
Pemerintah sepertinya menutup mata dengan kasus yang banyak terjadi di dunia pendidikan, bagi sang pembuat kebijakan itu merupakan suatu hal yang sangat relevan dengan tuntutan zaman. Sampel yang diambil sebagai contoh adalah gambaran siswa yang pintar dan cerdas saja, tetapi melupakan begitu banyaknya anak Indonesia yang terpuruk sehingga tidak begitu pintar dan cerdas karena kemiskinan. Selain daripada itu begitu banyaknya pengaruh-pengaruh lingkungan yang mengotori dunia pendidikan. Pemerintah sendiripun sepertinya cuci tangan, tidak mau tahu dan tidak mau disalahkan atas merebaknya hal tersebut.
Pendidikan yang bermutu hanya untuk mereka yang berduit saja, asupan gizi terpenuhi, faktor pendukung pembelajaran seperti peralatan komputer lengkap dengan program-programnya yang canggih dapat disediakan. Bagaimana dengan anak-anak yang tinggal di daerah, dan rata-rata penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan, seperti yang dituliskan sebelumnya? Tentu pendidikan yang diperoleh pun seadanya. Begitu juga dengan dampak dari pengaruh lingkungan yang menyebabkan anak didik menjadi malas berpikir. Oleh sebab itu yang harus dibenahi terlebih dahulu adalah sistem dan lingkungannya (seperti dalam proses termokimia saja) agar berkualitas, bukan hasil akhirnya. Pendidikan di suatu negara akan berhasil baik jika pemimpinnya berilmu dan beriman. Seperti apakah pendidikan yang baik menurut pandangan Islam?
Sebagaimana dikutip dalam buku Pendidikan Islam Integratif bahwa tujuan filosofis pendidikan ditinjau dari sisi keislaman secara substansial maupun eksistensial manusia berbeda dengan Tuhan. Manusia diciptakan di muka bumi ini hanya untuk beribadah kepada-Nya (Qs. 51:56). Sebagai modal dasar, manusia diberikan kesempurnaan bentuk penciptaan dibandingkan dengan mahluk lain, sebagaimana dijelaskan dalam Qs. 95 : 4. Dengan dasar kemampuan itulah manusia diwajibkan menuntut ilmu melalui proses ‘pendidikan’. Oleh sebab itu pada hakekatnya tujuan pendidikan adalah “memanusiakan manusia” agar ia benar-benar mampu menjadi khalifah di muka bumi. Yang paling penting dalam tataran riil, lembaga pendidikan harus mampu melahirkan cendekiawan-cendekiawan “utuh” dalam arti memiliki keluasan ilmu dan keluhuran akhlak. Dalam dunia pendidikan tidak hanya ditekankan pada kecerdasan tetapi juga meningkatkan keimanan dan ketakwaan pada Allah SWT.
Sedangkan tujuan fungsional pendidikan, berakar pada tuntutan atas diri manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi. Secara konkret hal tersebut mustahil dilakukan mengingat keterbatasan kemampuan manusia, bahkan malaikat sendiri pun mempertanyakan kemampuan manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi (Qs. 2 : 3). Secara lebih konkret lagi dalam sudut pandang manusiawi tujuan fungsional pendidikan adalah pengetahuan tentang perbedaan-perbedaan tradisi, tingkah laku, adat istiadat, budaya, kesukuan, sistem pemikiran, kemasyarakatan dan seterusnya menjadi pemahaman dan pengenalan satu dengan yang lainnya (Qs. 49:13). Dan dalam sudut pandang kosmologis, tujuan fungsional pendidikan merupakan suatu tuntutan terhadap pengetahuan sunatullah alam semesta.
Sungguh indah jika dunia pendidikan kita bisa menciptakan cendekiawan-cendekiawan utuh yang akan menjadi khalifah di muka bumi. Sebagaimana hadis Nabi Muhammad SAW. yang dikutip oleh Al-Ghazali bahwa orang bodoh adalah musuhnya, sedangkan orang terpelajar adalah sahabatnya. Pada hadis lain pun nabi bersabda bahwa kebodohan dan buta huruf adalah jauh lebih jelek daripada kematian dan ilmu pengetahuan, sedangkan sifat terpelajar adalah lebih baik daripada hidup. Nabi juga mengatakan bahwa dengan ilmu kita dapat membedakan yang benar dan salah, ilmu adalah sahabat kita di sahara, ilmu menerangi jalan kita ke surga, ilmu membimbing kita menuju kebahagiaan, ilmulah yang menopang kita ketika dalam kesengsaraan, ilmu adalah hiasan di tengah-tengah sahabat dan menjadi lapis baja ketika menghadapi musuh. Maka Nabi menganjurkan untuk mencari ilmu sampai ke negeri China. Dan barang siapa yang menghormati orang terpelajar berarti dia menghormatiku (Muhammad SAW.).
Berdasarkan uraian di atas bahwa yang harus dibenahi terlebih dahulu adalah kualitas pendidikannya. Sudah baikkah kurikulumnya? Sudah sejahterahkah gurunya? Di Indonesia penghargaan terhadap dunia pendidikan belum begitu baik, padahal anggaran terbesar dalam pendapatan negara adalah anggaran dunia pendidikan. Kerjasama yang baik antara lembaga struktural dan lembaga fungsional dalam menyimpulkan suatu ‘penelitian’ adalah suatu hal yang sangat menunjang dalam peningkatan mutu pendidikan, bukan berdasarkan pada laporan fiktif belaka. Sehingga dalam penentuan kebijakan tidak menghadapkan dilema kepada berbagai pihak. Seperti dalam pendidikan pesantren, mereka tidak butuh Ujian Akhir Nasional karena yang mengetahui sejauh mana kualitas anak-anak didiknya adalah Pak Kiainya. Tapi apakah pesantren merupakan pendidikan yang tidak berkualitas, karena tidak ikut ujian akhir nasional? Begitu banyak alumni-alumni santri yang sukses dan menjadi ulama besar yang tanpa harus melalui Ujian Akhir Nasional.
Menurut Al Ghazali, para pencari kebenaran dan ilmu pengetahuan dapat dikelompokkan menjadi : pertama, kelompok rasionalis. Kelompok ini mengaku melihat dengan sangat dalam hal-hal atau fenomena tertentu dengan bantuan kemampuan akal pikir. Kedua, kelompok bathin. Kelompok ini menyombongkan keadaannya karena mempelajari dan memperoleh ilmu pengetahuan yang membahagiakan dari imam yang suci pada zaman mereka. Ketiga, Para Filosofi. Kelompok ini menganggap diri mereka memahami serta menguasai akal dan logika. Kempat, Para Sufi. Kelompok ini yang mengaku memperoleh ilmu pengetahuan dengan sarana intuisi dan wahyu dari Tuhan. Dan Al Ghazali pun telah memperjuangkan dengan gigih bahwa “Tasawuf” sangat berperan sebagai peralatan belajar, tata aturan, dan tindakan hidup. “Tasawuf” adalah pengetahuan dan pengamalan, dan pada dasarnya adalah semacam ilmu pengetahuan yang praktis. Seorang sufi tidak berarti apa-apa jika tidak melaksanakan apa yang dia imani dan pegang teguh dengan penuh keyakinan.
Ilmu pengetahuan harus dilandasi dengan iman. Dalam beragama, itu yang lebih utama ditonjolkan dari pada memaksakan kehendak apa yang diinginkan oleh para pemimpin. Pemimpin sebaiknya lebih bijaksana dalam mengambil keputusan, karena dampak dan pengaruh yang ditimbulkannya ibaratkan syurga yang tak jauh berbeda dengan neraka. Di satu sisi ingin berharap kebaikan tetapi di sisi lain kecurangan demi kecurangan mengotori harapan suci dari seorang yang tulus. Ketulusan yang diharapkan mendapat syurga, tetapi tanpa disadari oleh sang pengemban amanah ternyata berbuah neraka. Hal ini merupakan suatu dilema yang sangat jauh dari hati nurani seorang yang mulia di mata Allah SWT. Ketulusan niat dalam mengemban amanah suci dari Ilahi ternodai hanya karena ingin melakukan suatu kebaikan yang ‘palsu’. Wahai kau yang ada diujung mata ingatlah ilmu adalah satu amalan yang kita bawa ketika hayat berpisah dari raga. Bermanfaatkah ‘ilmu’ tersebut? Atau bahkan menyengsarakan dan menyebabkan timbulnya suatu kemudharatan? Marilah kita mengintrospeksi diri, takutkah kita akan kematian? Semoga Allah SWT senantiasa melindungi dan membimbing kita semua agar tetap dalam iman Islam. Amin.

Tidak ada komentar: